SELAMAT DATANG
SELAMAT DATANG
Rabu, 31 Agustus 2011
Selasa, 23 Agustus 2011
BALINESE TRADITIONAL HOUSE
Menurut filosofi masyarakat Bali, kedinamisan dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara aspek pawongan, palemahan dan parahyangan. Untuk itu pembangunan sebuah rumah harus meliputi aspek-aspek tersebut atau yang biasa disebut Tri Hita Karana.
Pawongan merupakan para penghuni rumah. Palemahan berarti harus ada hubungan yang baik antara penghuni rumah dan lingkungannya.
Pada umumnya bangunan atau arsitektur tradisional daerah Bali selalu dipenuhi hiasan, berupa ukiran, peralatan serta pemberian warna.
Ragam hias tersebut mengandung arti tertentu sebagai ungkapan keindahan simbol-simbol dan penyampaian komunikasi. Bentuk-bentuk ragam hias dari jenis fauna juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam patung.
LAMPUNG TRADITIONAL HOUSE
Rumah Sesat berfungsi sebagai tempat pepung adat (musyawarah) para purwatin (penyimbang) antar marga. Rumah tersebut biasanya dilengkapi dengan jambat agung (tangga) atau lorong agung untuk masuk ke dalam rumah.
Di Lampung rumah tersebut juga dikenal dengan sebutan Sesat Balai Agung yang dilengkapi 3 payung masing-masing berwarna putih (lambang tingkat marga), kuning (tingkat kampung) dan merah (tingkat suku).
Adapun lambang Garuda pada rumah Sesat melambangkan marga Lampung. Rumah adat ini dibagi dalam beberapa bagian antara lain: Ijan Geladak, tangga masuk yang dilengkapi dengan atap yang disebut Rurung Agung, anjungan, serambi yang digunakan untuk pertemuan kecil, Pusiban, ruang dalam tempat musyawarah resmi, Ruang Tetabuhan, tempat menyimpan alat musik tradisional Lampung yang dinamakan Talo Balak (kulintang), Ruang Gajah Merem, tempat istirahat bagi para penyeimbang.
Hal lain yang khas pada rumah Sesat ii adalah hiasan payung-payung besar di atapnya (rurung agung) yang berwarna putih, kuning dan merah sebagai simbol tingkat kepenyeimbang bagi masyarakat tradisional Lampung.
BETAWI TRADITIONAL HOUSE
Lisplank rumah kebaya berupa papan yang diukir dengan ornamen segitiga berjajar yang diberi nama ’gigi balang’. Di bagian tengah sebagai ruang tinggal dibatasi dinding tertutup, di luarnya merupakan terasi-teras terbuka yang dikelilingi pagar karawang rendah.
Dinding bagian depan biasanya dibuat dari panil-panil yang dapat dilepas saat pemilik rumah menyelenggarakan acara yang membutuhkan ruang lebih luas. Tiang-tiang rumah lebih tampak jelas di bagian teras, berdiri di atas lantai yang agak naik dari ketinggian tanah di halaman. Terdapat tangga pendek dari batu-bata atau kayu untuk mencapai teras rumah.
Ruang-ruang terbagi dengan hirarki dari sifat publik di bagian depan menuju sifat privat dan service di bagian belakang. Beranda depan adalah tempat untuk menerima tamu dan bersantai bagi keluarga yang diberi nama ‘amben’. Lantai teras depan yang bernama ‘gejogan’ selalu dibersihkan dan siap digunakan untuk menerima dan menghormati tamu.
Gejogan dihubungkan tangga yang disakralkan oleh masyarakat betawi dengan nama ’balaksuji’, sebagai satu-satunya lokasi penting untuk mencapai rumah. Ruang berikutnya adalah kamar tamu yang dinamakan ‘paseban’. Setelah ruang tamu terdapat ruang keluarga yang berhubungan dengan dinding-dinding kamar, ruang ini dinamakan ‘pangkeng’. Selanjutnya ruang-ruang berfungsi sebagai kamar-kamar tidur dan terakhir adalah dapur yang diberi nama ‘srondoyan’.
ACHENESE TRADITIONAL HOUSE
MINANGKABAU TRADITIONAL HOUSE
Pagaruyuang Palace in Batu Sangkar
Rumah Gadang type 1 (left) and Rangkiang (right) 1910
West Sumatra, Tuo Kayu Jao Mosque http://www.indonesia-tourism.com/forum/showthread.php?1288-Tuo-Kayu-Jao-Mosque-West-Sumatra-Indonesia |
|
Islam in West Sumatra Province
Solok it has evolved since the 16th century. This was evidenced by the
establishment of the mosque has Tuo located in Wood Jorong Jao Barus
Nagari Sub Trunk Mount Gutters Islam in West Sumatra Province Solok it has evolved since the 16th century. This was evidenced by the establishment of the mosque has Tuo in Nagari Jao Jorong Wood Trunk Mount Gutters Barus District. Thatched roofed mosque founded by some scholars that area until now kept its authenticity. Next to the mosque there is a percussion (drum) are believed to rest with the mosque. In addition to its authenticity is maintained until now, its architecture is identical to the mosque roof Demak in Punjab who is also a three tiered. However, from several aspects, Tuo Mosque Jao Wood has several advantages. Especially in terms of philosophical and cues to the building. The roof made of palm fiber Minangkabau traditional house design symbolizes the Tower House. At the mihrab (pulpit and the priest) was also given gonjong like Tower House. The number of poles as many as 27 pieces representing six tribes, each of which consists of Ampek jinih (four elements of traditional governance) so that the amount of 24 parts. Plus the three elements of religion are preachers, priests and bilal, thus the number to 27. Strong scent of Islam in the region is also reflected from the windows of 13 pieces. This is to imply rukum Prayers are 13 kinds. Several years ago we could still see the building remained robust, though not one part nailed. But only use the pegs at each connection. But it was little changed after the restoration a few years ago. However, a clear hallmark of the mosques who wear the fibers with the original design is maintained. Aside from being a cultural heritage site, the mosque was used as a proof that the Nagari Trunk Barus and Solok in general, Islam has grown since 400 years ago. This is thought to be a reflection of society who hold fast to the religion of Islam in daily life. This is a marker that the inhabitants of this area has applied Indigenous Basandi Syarak, Syarak Basandi Qur'aan. This is also supported by many cues in the mosque building depicting harmonious blend between traditional and religious. In its development as an Object crowded tourism, religious tourism has to offer visitors to the mosque is very intriguing. It was thought not only in terms of its unique architecture, but also from natural conditions which have a charming topography.(rijal islamy-padang today) |
RIAU MALAY TRADITIONAL HOUSE
Riau Traditional House
Selaso Jatuh Kembar
Lancang/Pencalang/Lontiok, Kampar Traditional House
Pekanbaru Traditional House
Bintan, Riau Islands
Batam Traditional House
Selaso Jatuh Kembar
Lancang/Pencalang/Lontiok, Kampar Traditional House
Pekanbaru Traditional House
Bintan, Riau Islands
Batam Traditional House
JAVANESE TRADITIONAL HOUSE
Arsitektur Joglo terbilang unik, dengan ciri khas berupa perpaduan dua bidang atap segitiga dengan dua buah bidang atap trapesium. Masing-masing memiliki sudut kemiringan yang berbeda dan tidak sama besar. Atap Joglo selalu terletak di tengah-tengah dan lebih tinggi serta diapit oleh atap serambi. Dari bentuk atap yang unik inilah bangunannya kemudian dikenal dengan nama rumah Joglo. | ||||
BANJAR TRADITIONAL HOUSE
Rumah Banjar: adalah rumah tradisional suku Banjar. Arsitektur tradisional ciri-cirinya antara lain memiliki perlambang, memiliki penekanan pada atap, ornamental, dekoratif dan simetris.
Rumah tradisonal Banjar adalah type-type rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri mulai sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Pada tahun 1871 pemerintah kota Banjarmasin mengeluarkan segel izin pembuatan Rumah Bubungan Tinggi di kampung Sungai Jingah yang merupakan rumah tertua yang pernah dikeluarkan segelnya.
Umumnya rumah tradisional Banjar dibangun dengan ber-anjung (ba-anjung) yaitu sayap bangunan yang menjorok dari samping kanan dan kiri bangunan utama karena itu disebut Rumah Baanjung. Anjung merupakan ciri khas rumah tradisional Banjar, walaupun ada pula beberapa type Rumah Banjar yang tidak ber-anjung. Tipe rumah yang paling bernilai tinggi adalah Rumah Bubungan Tinggi yang biasanya dipakai untuk bangunan keraton (Dalam Sultan).
Jadi nilainya sama dengan rumah joglo di Jawa yang dipakai sebagai keraton. Keagungan seorang penguasa pada masa pemerintahan kerajaan diukur oleh kuantitas ukuran dan kualitas seni serta kemegahan bangunan-bangunan kerajaan khususnya istana raja (Rumah Bubungan Tinggi). Dalam suatu perkampungan suku Banjar terdiri dari bermacam-macam jenis rumah Banjar yang mencerminkan status sosial maupun status ekonomi sang pemilik rumah. Dalam kampung tersebut rumah dibangun dengan pola linier mengikuti arah aliran sungai maupun jalan raya terdiri dari rumah yang dibangun mengapung di atas air, rumah yang didirikan di atas sungai maupun rumah yang didirikan di daratan, baik pada lahan basah (alluvial) maupun lahan kering.
Rumah Balai: Balai merupakan rumah adat untuk melaksanakan ritual pada religi suku mereka. Bentuk balai, "memusat" karena di tengah-tengah merupakan tempat altar atau panggung tempat meletakkan sesajen. Tiap balai dihuni oleh beberapa kepala keluarga, dengan posisi hunian mengelilingi altar upacara. Tiap keluarga memiliki dapur sendiri yang dinamakan umbun. Jadi bentuk balai ini, berbeda dengan rumah adat suku Dayak umumnya yang berbentuk panjang (Rumah Panjang).
SUNDANESE TRADITIONAL HOUSE
Kamis, 11 Agustus 2011
ENGGANO TRADITIONAL HOUSE
Euba Ekadodio
Beehive House of Engganese
Rumah Sialang Enggano
Beehive House of Engganese
Rumah Sialang Enggano
In enggano language house call as Euba. So beehive houses call as Euba Ekadodio. This the unique shape house in the world.
Engganese houses once had a beehive shape. Charles Miller (1778) was the first to notice the special shape of the houses and the first to call them as a beehive houses. Such as shape rarely occur in Indonesia. Modigliani compares the engganese houses with the houses on Nicobar island, west of Indonesia. This comparison, how ever, only hold good at a very superficial level, as Domenig oberved (1999 personal communication). Other houses resembling those of engganese are the aound houses of central Timor, allthough these are not bulit on pillars like engganese ones. Rectangular house also accured and are still found today on Enggano.
Beehive model from Volkenkunde Museum, Netherland.
Beehive model from Volkenkunde Museum, Netherland.
Model of a beehive house. Such houses are very typical of Enggano. They are now no more. The latter would be demolished around 1903. Modigliani (1894: Tav.VIII) published one of the few known photos of a beehive house. Models of such Euba kakario are present in various museums. This model shows that the roof on a wooden bird figure was confirmed. In addition, the narrow doorway visible. The door is missing. This model home has no central pole. Beehive House on Enggano, only the man and the woman, and sometimes the youngest child of a family uses. It was too small and uncomfortable, no opening for fresh air, to an 'extended family' to be used. Several houses were once in a beehive circle and thus constituted a settlement. The house of the leader stood in the middle and was slightly bigger than the rest of the houses. Houses of important people would be supported by, in carved wood, picture of a defeated enemy to fertility and the welfare of the family was secure. House Models in Florence and in Jakarta have also seen this image. See also ModiglianiBeehive house model (Volkenkunde Museum)
Object Name: house (model)
Dimensions: 108 x 50 x 51 cm
Dated: 1883
Geography: Enggano / Bengkulu Utara / Bengkulu / Sumatera / Indonesia
Culture: Enggano
Rumah adat marga Kaitora in Meok Village, Enggano Island. Rumah adat tersebut berfungsi antara lain sebagai tempat pertemuan dan musyawarah kepala adat dengan warga.
KOROWAI TRADITIONAL HOUSE
Korowai – tree house Photo©Pavel Vacha
Korowai – tree house Photo©JahodaPetr.com
ARFAK (HATAM TRIBE) TRADITIONAL HOUSE
At Kwau village, Arfak Mountains "Rumah Kaki Seribu"
The small wooden house below is a typical traditional dwelling place of Hatam people. Hatam is one of the indigenous tribes who live in Arfak mountains of Manokwari regency in West Papua province of Indonesia. The house was built on a slope in Kwau village. I went there on 14 April 2011 with Ad Rappange - a tourist from Switzerland. Two crews from TOP TV - Nadia Siregar and Edo also went with us. Most of the traditional wooden houses have similar designs. The interior is not divided into smaller rooms like what we have in the city. The walls were made of bark reinforced with wooden sticks. The floor is made of bamboo supported by a lot of wooden posts. The Papuan do not use nails to join the wooden posts and beams. They tight them with split rattan. The houses do not have windows.
This traditional wooden house does not experience a lot of changes both in the design and method of construction. The only noticeable change that we can see in most of the houses is the roof material. In the past, the Hatam tribe used pandanus leaves as roofs. Now most of them have been replaced by corrugated metal roof called seng that is more resistant to rain. Because the houses do not have ceilings, the temperature inside the house is usually high during sunny days.
SOUTH NIAS TRADITIONAL HOUSE
South Nias houses, Bawomatalou
Interior of the front room of a South Nias house
Omo Sebua in Hilinawalö Mazinö, South Nias
Interior of the front room of a South Nias house
Omo Sebua in Hilinawalö Mazinö, South Nias
NORTH NIAS TRADITIONAL HOUSE
North Nias house, Sihare'o Siwahili
Arsitektur Rumah Adat Nias Utara
1. TINJAUAN ARSITEKTUR TRADISIONAL NIAS UTARA
1.1. Rumah Tradisional Nias Utara
Bila
kita membicarakan arsitektur tradisional di pulau Nias maka kita tidak
bisa terlepas dari apa yang dinamakan rumah tradisional Nias. Rumah
tradisional Nias dapat dibedakan atas 3 (tiga) tipe rumah adat sesuai
dengan penelitian yang diadakan Oleh Alain M. Viaro Arlette Ziegler yang
didasarkan pada bentuk atap dan denah lantai bangunan. Ketiga tipe
tersebut adalah[1] :
1. Tipe Nias Utara
Bentuk atap bulat ; bentuk denah oval
2. Tipe Nias Tengah
Bentuk atap bulat ; bentuk denah segi empat
3. Tipe Nias Selatan
Bentuk atap segi empat ; bentuk denah persegi
Berdasarkan
judul yang dibahas yaitu Kantor Bupati Nias Utara, maka dalam hal ini
ciri arsitektur Nias Utara menjadi unsur arsitektur utama sebagai dasar
perancangan.
1. Bentuk dasar elips atau oval;
2. Lebar rumah 10 meter, panjang 15 meter, tinggi 9-13 meter;
3. Pintu masuk dari sebelah bawah. Sisi depan dan belakang agak lurus;
4. Jarak antara tiang-tiang rumah tidak selalu sama;
5. Jarak antara dua barisan tiang di depan lebih lebar ; orang bisa berjalan di tengah;
6. Jarak antara tiang-tiang di belakang lebih rapat; beban rumah di lebih besar;
7. 8 lembar papan Siloto (seloto) melintang di atas 62 tiang dari muka ke belakang;
8. 1 Siloto di ujung kiri dan 1 di ujung kanan @ 6 tiang : 2 x 6 = 12 tiang;
9. 2 Siloto berikut sebelah kiri dan kanan @ 8 tiang : 4 x 8 = 32 tiang ;
10. 2 Siloto di pertengahan rumah @ 9 tiang : 2 x 9 = 18 tiang;
11. Jumlah tiang (diluar tiang-tiang penunjang) 12 + 32 + 18 = 62 tiang
Gambar 7 : Isometri Struktur Rumah Tradisional Nias Utara
ž Pola kampungan Nias Utara
ž Bentuk linier (gang)
ž Masa bangunan terpisah satu sama lain
ž Gerbang tidak begitu jelas
ž Halaman terdiri dari tanah yang diperkeras
Gambar 8 : Pola perkampungan Nias Utara
Pada
pola kampung tersebut selalu berorientasi ke arah utara – selatan,
sedangkan gerbangnya berada pada arah timur – barat. Hal ini menunjukkan
bahwa masyarakat Nias telah mengetahui cara penempatan bangunan yang
baik dengan berpedoman pada cuaca atau iklim. Dalam pengertian mereka
bahwa arah terbitnya matahari disebut “raya” dan arah terbenamnya ”you”.
1.3. Kosmologi Masyarakat Nias
Dalam masyarakat Nias sebelum masuknya agama menganut kepercayaan akan adanya 3 (tiga) dunia, yakni :
ž Dunia atas atau dunia leluhur;
ž Dunia manusia dan
ž Dunia bawah.
Kosmologi masyarakat Nias ini merupakan gambaran
pandangan dari masyarakat tentang asal-usul nenek moyang suku Nias yang
berasal dari Teteholi Ana’a (langit) yang diturunkan ke bumi di puncak
gunung sekarang di kenal dengan nama Boro Nadu, yang berada di Kecamatan Gmo Kabupaten Nias Selatan.
Pengaruh
Kosmologi ini terlihat jelas dalam bentuk arsitektur tradisional Nias,
baik itu dalam bentuk rumah adatnya maupun dalam pola perkampungan.
Dalam bentuk rumah adat, masyarakat Nias menepatkan bagian atas dari
pada bangunannya sebagai tempat yang paling dihormati (disucikan).
Dalam
pola perkampungan, semakin tinggi letak kampung berada, semakin dekat
dengan dunia atas, yang berarti semakin aman dan sejahtera kampung
tersebut.
Gambar 9 : Kosmologi masyarakat Nias
Dunia
atas, dunia manusia dan dunia bawah digambarkan oleh masyarakat Nias
dalam bentuk perkampungannya. Gambaran Teteholi Ana’a (langit)
diperlihatkan dengan gerbang atau jalan menuju ke kampung.
TOBA TRADITIONAL HOUSE
At Simarindo Village
Simanindo is a small Toba Batak village on the northern part of Lake Toba, about 16 km from Ambarita. Tourists come here to view the restored house of the Toba Batak king. This house has since been turned into a museum. In front of the museum is a row of ancient Toba Batak tombs of the ancient Simanindo kings. Just as in Pematang Purba, the Batak kings of Simanindo are Christians. Hence there are Christian motifs in the design of their tombs.
Next to the Simanindo king's house is a replica of a traditional Simanindo Batak village. Here, traditional Batak dances are performed daily at 10:30am and 11:45am to a crowd that is almost always exclusively foreigners, and most likely Westerners. When I was there with a group of AsiaExplorers members, we were the only Asians watching the show.
I enjoy the visit to Simanindo as it provides an opportunity for visitors like myself to find out more about the unique Batak culture. We arrived here by boat from our hotel in Tuk Tuk. On our way here, we stopped over on tiny Tao Island.
Simanindo is a small Toba Batak village on the northern part of Lake Toba, about 16 km from Ambarita. Tourists come here to view the restored house of the Toba Batak king. This house has since been turned into a museum. In front of the museum is a row of ancient Toba Batak tombs of the ancient Simanindo kings. Just as in Pematang Purba, the Batak kings of Simanindo are Christians. Hence there are Christian motifs in the design of their tombs.
Next to the Simanindo king's house is a replica of a traditional Simanindo Batak village. Here, traditional Batak dances are performed daily at 10:30am and 11:45am to a crowd that is almost always exclusively foreigners, and most likely Westerners. When I was there with a group of AsiaExplorers members, we were the only Asians watching the show.
I enjoy the visit to Simanindo as it provides an opportunity for visitors like myself to find out more about the unique Batak culture. We arrived here by boat from our hotel in Tuk Tuk. On our way here, we stopped over on tiny Tao Island.
Langganan:
Postingan (Atom)